BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sepanjang sejarah agama-agama wahyu, Ilmu Tauhid yang
digunakan untuk menetapkan dan menerangkan segala apa yang diwahyukan Allah
kepada RasulNya tumbuh bersama tumbuhnya agama ini. Para tokoh agama berusaha memelihara dan meneguhkan agama
dengan berbagai macam cara dan dalil yang mampu mereka ketengahkan. Ada yang
kuat, ada yang sempit, ada yang luas, sesuai dengan masa dan tempat serta
hal-hal yang mempengaruhi perkembangan agama.
Perkembangan Ilmu Tauhid mengalami beberapa tahapan sesuai
dengan sesuai dengan perkembangan manusia, yang dimulai pada masa nabi Adam,
Rasulullah SAW, masa Khullafaurrasyidun, masa Daulah Umayyah, masa Daulah
Abbasyiah dan masa sesudah kemunduran Daulah Abbasyiah.
Kalau kita selidiki sejarah pertumbuhan agama dan
perkembangannya, maka sejarah tauhid pun harus kita kembalikan pula kepada asal
mula pertumbuhn sejarah, yaitu permulaan manusia mengenal sejarah. Mereka semua
mempunyai agama yang dipercayai dan diyakininya. Dan agama yang diyakininya
itulah yang benar menurut anggapan mereka.
Begitu pula halnya ahli-ahli falsafah, dalam membahas
kejadian alam, untuk sampai kepada yang menciptakan alam ini. Bendapat mereka
berbeda-beda mengenal asal mula kejadian alam.
Masing-masing ahlib falsafah berpendapat, bahwa pendiriannya
yang benar dan yang lainnya adalah salah. Semua mereka, walaupun sudah sampai
ke-Tuhanan, akan tetapib belumlah mencapai apa yang dikehendaki Allah dan yang
diamanatkan oleh para Nabi dan Rosul.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
Nabi Adam AS
2. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
Nabi Muhammad SAW
3. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
Khulafaur Rosyidin
4. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
Daulah Bani Umayah
5. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
Daulah Bani Abbasiyah
6. Sejarah Perkembangan Tauhid pada masa
pasca Daulah Bani Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ketauhidan Sejak Nabi Adam a.s
Adam adalah nenek moyang manusia yang pertama. Sejarah
tentang Tauhid dimulai sejak diutusnya nabi Adam a.s oleh Allah untuk
menganjarkan ketauhidan yang murni kepada anak dan cucunya. Ajaran Adam tentang
Tauhid yaitu tentang KeEsaan Allah SWT. Semenjak itulah manusia telah
mengetahui dan meyakinkan tentang adanya keEsaan Allah sebagai sang Pencipta
alam semesta ini. Umat manusia yang telah dibuka hatinya oleh Allah menerima
hakikat hidup itu, menerima dan mematuhi ajaran Nabi Adam.
Akan tetapi setelah nabi Adam wafat, umat pun kehilangan
pembimbing. Mereka pun mulai menyimpang dari ajaran semula dan meninggalkan
sedikit demi sedikit ajarannya sehingga tersesat dari jalan lurus dan kehidupan mereka pun menjadi kacau.
Untuk itu Allah mengutus para Nabi dan Rosul untuk
memberikan petunjuk kepada umat manusia. Nabi Nuh a.s., seorang bapak atau
nenek moyang manusia yang ke dua, diutus sebagai pemimpin dan pengatur manusia
yang kacau porak poranda setelah ditinggalkan oleh nabi Adam. Sebelum nabi Nuh
a.s pun telah diutus Nabi-nabi yang ditugaskan untuk meneruskan ajaran nabi
Adam a.s. Setelah Nabi Nuh wafat, manusia kembali kehilangan pemimpin dan
pengaturnya dan menjadi kacau balau sampai diutusnya Nabi Ibrahim Oleh Allah
SWT . Nabi Ibrahim selain mengajarkan dan memimpin ketauhidan terhadap Allah
juga beliaulah yang mula-mula membawa dan mengajarkan syari’at.
Periode antara nabi Ibrahim dan nabi Muhammad masih
banyak lagi nabi-nabi yang diutus Allah untuk menjaga ketauhidan dikalangan
umat manusia, agar tidak terkikis dari sanubari manusia. Diantara nabi-nabi itu
ialah: Nabi Luth a.s, nabi Ismail a.s, nabi Ishaq a.s, nabi Yakub a.s, nabi
Yusuf a.s, nabi Musa a.s, nabi Harun
a.s, nabi Yusa’ a.s, nabi Daud a.s, nabi Sulaiman a.s, Nabi Hud a.s, nabi
Shaleh a.s, nabi Syu’aib a.s, Nabi Zakaria a.s, Nabi Yahya a.s, Nabi Ayyub a.s,
nabi Zulkifli a.s, nabi Isa a.s dan nabi Muhammad SAW.
Diantara nabi-nabi yang dua puluh lima tersebut ada lima
orang nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi yaitu: nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi
Musa , nabi Isa dan nabi Muhammad SAW. Semua nabi-nabi itu mengajarkan kepada
umatnya untuk mentauhidkan dan meyakini bahwa yang menjadikan alam semesta ini
Esa yaitu Allah SWT.
Nabi Musa a.s diutus oleh Allah untuk mengajarkan
ketauhidan. Allah menurunkan kitab
Taurat secara sekaligus kepada nabi Musa a.s. Taurat itu mengandung syariat
atau peraturan-peraturan Allah yang diturunkan kepada nabi Musa untuk diamalkan
dan berpegang teguh padanya. Syariat itu telah dijalankan oleh umat nabi
Musa sebagai petunjuk dan pedoman hidup
mereka sewaktu Nabi Musa masih hidup. Akan tetapi setelah Nabi Musa wafat bani Israil atau orang Yahudi lama kelamaan
menyimpang dari kitab Taurat sehingga menyebab kerusakan. Pada masa bani Israil
ditinggalkan Nabi Musa, timbul perselisihan dan perubahan–perubahan atau
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian mereka. Nabi Isa pun diutus oleh Allah
sebagai Pendamai dan mengembalikan pada ajaran agama yang semula, yaitu tentang
ke Esaan Allah.[1][1]
Nabi Isa mengajaran ketauhidan dengan berdasarkan pada
kitab yang telah diturunkan oleh Allah yaitu kitab Injil. Di dalam kitab Injil
terkandung: nasihat-nasihat,petunjuk-petunjuk terhadap orang yang mengimaninya.
Nabi Isa secara terus menerus menyiarkan agama tauhid serta mendamaikan umatnya
walaupun mendapat rintangan-rintangan dari bani Israil. Dengan kebencian
orang-orang Yahudi, mereka berniat untuk membunuh Nabi Isa. Akan tetapi Allah
melindungi Nabi Isa dengan menyamarkan orang yahudi . Orang Yahudi itu
menangkap salah seorang dari mereka yang telah diubah wajahnya mirip dengan
nabi Isa. Nabi Isa pun diangkat oleh Allah.
Setelah ditinggalkan nabi Isa (menurut kepercayaan
orang-orang Nasrani), sedikit demi sedikit mulai berubah ketauhidannya sehingga
umat menyimpang dari ajaran semula dan terlepas dari dasar-dasar ketauhidan
yang murni. Adapun perubahan yang terjadi sebagai berikut:
1. Segolongan orang Nasrani yang diketahui oleh Paulus
sebagai kepala agama di Intokia(syiria) memegang sungguh-sungguh ketauhidan
yang murni. Mereka berpendapat bahwa Isa itu seorang hamba dan pesuruh Allah
sebagai juga Rasul yang lain.
2. Golongan Arius, yaitu golongan Nasrani pengikut aliaran
“Arius” seorang pendeta di Iskandariah. Ia masih berpegang teguh pada
ketauhidan yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa Isa hamba Allah. Akan tetapi
ia menambahi keterangan bahwa Isa sebagai “kalimah Allah” dari situlah mulai
ada bayangan yang mengarahkan bahwa Isa itu adalah Allah.
3. Golongan Parpani. Golongan yang ini berpendapat bahwa Isa
dan ibunya dalah Tuhan. Demikian inilah keadaan Nasrani yang datang kemudian.
Mereka mengangap bahwa Tuhan itu menjadi tiga. Dan hampir semua orang Nasrani
mempercayai bahwa Tuhan itu terdiri dari 3 oknum. Ketiga oknum itu sebernya
satu juga yaitu: Bapa, anak dan Ruhul Kudus. 3 adalah 1 dan 1 adalah 3.
B. Sejarah Ketauhidan masa Rosulullah SAW
Masa Rasulullah saw merupakan periode
pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umatdan
kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada
Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara
umatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan
dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam.
Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta
menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala
bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat
al-Anfal ayat 46, yang artinya:
“Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Dan surat Al-Maidah ayat 15, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan
tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini.
Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak
membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus
dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah
diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan
mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi
dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan
tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt
berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah
saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena
Rasul sendiri menjadi penengahnya.[2][2]
Hanya 23 tahun Rosulullah berdakwah memperjuangkan Islam.
Dan dalam waktu sesingkat itu, seluruh semenanjung arab telah berhasil
diislamkan oleh Beliau. Hal ini disebabkan tidak hanya karena faktor Nabi
Muhammad, tapi keimanan dan kesetiaan yang tinggi para sahabat berpengaruh
besar dalam sejarah penyebaran Islam awal. Dan para sahabat masih berakidah
murni. Para sahabat tidak pernah menanyakan segala hal yang berhubungan dengan dzat dan hakikat sifat-sifat Allah.
Mereka telah mengerti makna yang terkandung dalam dalam sifat-sifat tersebut.
Karena itulah mereka tidak pernah menanyakannya, selain karena Rosulullah
melarang memikirkan dan memperdebatkan masalah itu.
Pada masa Rosulullah, persoalan-persoalan yang yang
berhubungan dengan aqidah justru muncul dari kaum musyrikin dan munafiqin.[3][3] Kaum musyrikin
mengangkat permasalahan qadar tujuannya ialah untuk membenarkan perbuatan jahat
dan dosa yang mereka kerjakan, yaitu menisbatkan perbuatan mereka kepada
kehendak Allah. Dengan demikian perbuatan mereka seakan-akan direstui oleh
Allah dan merupakan kehendak Allah. Sedangkan kaum munafiqun mengeluarkan
komentar-komentar yang mengindikasikan qodariyah.
Tidak lain maksunya untuk melemahkan semangat umat Islam dalam peperangan uhud
yang berpangkal dari kedengkian dan iri
hati mereka terhadap Rosulullah SAW.
Namun para sahabat tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan
mereka yang menyesatkan dan menggoyahkan aqidah itu. Dalam hal aqidah, para
sahabat mengambil aqidah dari Al-qur’an dan petunjuk Rosulullah. Fokus para
sahabat saat itu adalah membela sekuat tenaga perjuangan nabi Muhammad
menyiarkan agama Islam dan melindungi beliau dari serangan-serangan dari tipu
daya kaum musyrikin, yahudi, nasrani, dan munafiqin.
Melihat sejarah kehidupan Rosulullah, penolakan kaum
musyrikin, yahudi nashrani atas ajaran islam bukanlah disebabkan karena ajaran
islam yang bersumber dari kitab suici, melainkan lebih dikarenakan oleh faktor
hawa nafsu. Hawa nafsu telah memalingkan
hati dan pikiran merekadari jalan yang benar. Kaum musyrikin Mekah menolak
ajaran Muhammad karena fanatisme terhadap ajaran nenek moyang, ambisi
kekuasaan,egoisme kesukuan, dan keuntungan dari sisi perdagangan. Kaum yahudi
menolak ajaran Muhammad karena rasa dengki dan kebencian yang meluap-luap
kepada beliau dan bangsa arab. Orang yahudi menganggap diri mereka sebagai
bangsa terbaik dan pilihan Tuhan karena hampir seluruh Nabi yang diturunkan
berasal dari bangsa mereka. Jadi buat apa mereka tunduk kepada nabi Muhammad
SAW.
Sedang kaum Nasrani menolak ajaran Muhammad SAW karena
takut kehilangan kedudukan dan harta yang telah mereka berikan penguasa Romawi
terhadap mereka. Kalau mereka masuk ke agama Islam tentu semua itu akan hilang.
Ahlu kitab terutama yahudi selamanya takkan pernah rela dengan agama Islam
sejak zaman Rosulullah hingga masa kini. Dari perdebatan mereka dengan
Rosulullah bertujuan untuk memurtadkan umat Islam. Dan yang lebih bahaya lagi
adalah kaum munafiqin yang membantah perintah, larangan serta keputusan
Rosulullah.
Pada masa Rosulullah, penggunaan nalar untuk memperkokoh
keimanan adalah sesuatu yang baik. Rosulullah SAW dan Al-qur’an sendiri telah
memberikan contoh yang baik tentang perdebatan logis dan argumentatif untuk
memperteguh keimanan. Bahwa tauhid merupakan akidah yang benar karena bisa
dibuktikan kebenarannya dengan rasio. Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu
kalam sudah ada sejak masa Rosulullah SAW. Namun belum ada rumusan secara
kongkrit seperti zaman sekarang. Dan penggunaan nalar dalam permasalahan aqidah
hanyalah berfungsi unttuk memperkokoh akidah dan keimanan serta untuk menompang
dalil naqli.
C. Sejarah ketauhidan masa
khulafaurrosyidin
Setelah nabi Muhammad SAW. Wafat, pemerintahan dipegang
oleh khulafaurrasyidin semenjak tahun 11-40 H. Masa permulaan khalifah Islam
khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap seperti masa
Rasulullah saw. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas
dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh,
mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka
membaca dan memahami al-Quran tanpa takwil, mereka mengikuti perintah Al Qur’an
dan menjauhi laranganya. mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya.
mereka mensifati Allah dengan apa yang telah Allah sifatkan sendiri serta
mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah.
Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihat, mereka mengimaninya dan
menyerahkan pentakwilannya kepada Allah SWT sendiri.[4][4]
Pada zaman Khalifah Abu Bakar ( 632 – 634 M ) dan Umar
bin Khattab ( 634 – 644 M ) problema
keagamaan juga relatif kecil, termasuk masalah akidah. Umat islam
disibukkan oleh penyelesaian masalah dalam negeri ( di zaman Abu Bakar ) dan
ekspansi peluasan wilayah ( di zaman Umar ). Tapi, setelah umar wafat dan Usman
bin affan naik tahta ( 644 – 656 ) fitnah pun timbul, pergolakan di kalangan
umat islam tarjadi dan stabilitas politik terganggu.
Masa khalifah ke tiga, Usman bin Affan, mulai timbul
kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sampai akhirnya kholifah Usman sendiri
terbunuh. Umat islam menjadi terpecah dalam beberapa golongan dan partai dan
golongan-golongan itu berusaha mempertahankan pendirianya dengan perkataan dan
usaha. Maka terbukalah pintu takwil bagi nash-nash Al Qur’an dan Hadits
Rasulullah saw. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan
berkembang selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.
D. Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Daulah Umayyah.
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga
kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa
sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan
pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan
berduyun-duyunnya pemeluk agama lain masuk dan memeluk agama Islam, yang
jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan
beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan
berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Dalam masa ini muncul aliran Jabariah yang mana Jabariyah
merupakan aliran yang berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendak dan
perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang bergerak lantaran terpaksa
belaka (segala atas kodrat Tuhan semata). Dan aliran ini di angkat oleh 5
tokoh, yakni Ja’d bin Dirham, Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dhiror, Dhiror bin
Amr, dan Hasf al-fard.[5][5]
Kemunculan jabariyah mengakibatkan kemunculan sekelompok
umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) berasal dari kata qodaro yang berarti kemampuan atau
kekuatan. Aliran ini menetapkan bahwa manusia mempunyai kekuasaan mutlak dan
kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatannya sesuai dengan keinginan
tanpa adanya intervensi dari Tuhan. Aliran ini didirikan oleh Ghailan
ad-Dimasyqi dan Ma’bad al Juhani pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Aliran ini mengajarkan mengenai adanya kebebasan ikhtiar. Qodariyah kebebasan bagi manusia tidak mungkin terwujud
jika tidak ada kebebasan bekehendak.[6][6]
Menurut mereka, manusia adalah fa’il (pelaku) dari kebaikan dan
kejahatan, keimanan dan kekafiran. Dan ia mendapat balasan karena
perbuatannya. Tuhan memberikan kemampuan untuk semua itu. Tuhan tidak mungkin
menyampaikan perintah-Nya kepada seseorang
padahal orang itu tidak dapat bekerja
atau tidak merasakan didalam dirinya kemampuan dan kerja. Dan menurut
mereka, manusia memiliki kemampuan dalam dirinya untuk berbuat baik atau
sebalikya, karena ia memang diciptakan demikian.
Menurut mereka pula iman cukup dengan ma’rifat (pengenalan), dan perbuatan
tidak termasuk dalam iman. Dan mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Dan yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Qodim maka ia telah syirik. Qodariyah
pun meniadakan sifat-sifat tsubutiyah pada Allah.
Akan tetapi
kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah
(menjauh atau menjauhkan diri) yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat
(sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena
zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga
menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”).
Dalam kesejarahannya, mu’tazilah didirikan oleh Washil
bin ‘Atha’. Pendiri aliran ini memisahkan diri dari gurunya seorang tokoh
tabi’in Hasan al-Bashri. Diceritakan pada suatu hari seperti biasa Hasan
al-Bashri di masjid Basroh dalam pengajian menjelaskan setatus orang islam yang
melakukan dosa besar. Hasan menjelaskan, orang tersebut tetap beriman kepada
Allah dan Rosul-Nya meskipun tergolong mukmin yang durhaka. Jikalau ia tidak
mau bertaubat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka untuk sementara, kemudian
dimasukkan surga bersama orang-orang mukmin lainnya. Washil menolak pendapat
Hasan ini, ia menyatakan bahwa orang yang demikian itu bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tapi ia berada diantara dua posisi. Setelah itu Washil
beserta temannya memisahkan diri dan membentuk halaqoh sendiri akan tetapi
masih dalam lingkungan masjid Basroh. Dan ketika washil dan Amr keluar dari
majlis, Hasan pun berkata,” I’tazala
‘anna”. Sejak itulah Washil beserta pengikutnya dinamakan mu’tazilah.
Mu’tazilah dikenal sebagai golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa aliran-aliran teologi lainnya. Mereka membangun
pemahamannya berdasarkan akal atau rasio
sehingga terkenaldengan “kaum rasionalis Islam”.[7][7] Mu’tazilah
merupakan aliran teologi yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu. Tatkala
menemukan kontradiktif antar akal dan wahyu, mu’tazilah lebih mendahulukan
akal. Jadi Al-qur’an dan As-Sunnah harus ditakwil hingga sesuai dengan
pemahaman akal. Berikut ini adalah beberapa pemikiran yang berasala dari
mu’tazilah:
1. Baik buruk ditentukan oleh akal
Menurut mu’tazilah, sumber pengetahuan
berasal dari akal manusia, termasuk pengetahuan tentang baik dan buruk. Oleh
sebab itu bersyukur pada Allah wajib menurut akal sebelum diturunkannya wahyu.
Sumber penetapan hukum agama adalah akal. Sesuatu yang menurut akal dianggap
baik adalah kebaikan meskipun bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah,
begitu pula sebaliknya.
2. Manusia menciptakan perbuatannya
sendiri
Menurut mereka manusia mempunyai
kebebasan berkehendak. Kebebasan untuk melakukan dan menciptakan sesuatu tanpa
ada campur tangan dari Tuhan. Manusia meiliki hak untuk menentukan
perbuatannya, baik atau jahat sesuai kehendaknya tanpa ada paksaan dari Tuhan
dalam hal ini Tuhan tidak memiliki hak untuk mengatur perbuatan manusia. Tuhan
hanya memerintahkan pada hamba-Nya untuk berbuat baik dan meninggalkan
kejelekan.. manusialah yang menentukan nasib mereka.
3. Penghuni neraka tidak kekal
Umar bin al-Bahar, salah satu tokoh
mu’tazilah berpendapat bahwa penghuni neraka tidak kekal didalam neraka. Tapi
bersatu dalam neraka sehingga tidak merasakannya siksaan neraka. Penghuni
neraka tidak dimasukkan dalam neraka, melainkan neraka yang menarik bagaikan
magnet. Sebagian mereka berpendapat bahwa penghuni surga dan neraka tidak kekal.
Setelah mereka mendapat ganjaran atau hukuman, kemudian mereka dilenyapkan.
Surge dan neraka pun dilenyapkan. Pada akhirnya yang kekal hanyalah Allah SWT.
4. Menolak kemungkinan melihat dzat Allah
di akhirat
Menurut mu’tazilah bila dzat Allah dapat
dilihat berarti dzat-Nya sama dengan dzat yang lain, padahal dzat Allah tidak
berada pada arah tertentu, tidak memliki tempat, tidak menempati ruang, tidak
berebentuk, tidak menyerupai rupa, bukan berupa materi, tidak berubah dan tidak
terpengaruh.
Dalam mu’tazilah terkenal konsep teologi yang mereka
namakan al-Ushul al-Khomsah atau lima ajaran pokok.lima ajaran
pokok ini merupakan pijakan dasar kaum mu’tazilah dalam berteologi. Adapun lima ajaran pokok tersebut
sebagaimana berikut:
1. Tauhid
Menurut kaum mu’tazilah, tauhid tidak
hanya diartikan Tuhan adalah dzat yang Maha Esa dan tidak ada sekutu baginya,
namun Tuhan harus benar-benar disucikan dari hal-hal yang dapat mengurangi ke-Esaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang Esa. Artinya tuhan tmemiliki sifat ma’ani dan sifat-sifat lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Mereka mentakwilkan sifat dengan nama-nama Allah. Than menurut mereka adalah yang Maha hidup, berkuasa, maha mengetahui, maha mendengar, maha melihat
bukan karena seifatnya, melainkan dengan dzat-Nya sendiri.
2. Al-‘adl
Keadilan menurut konsep mu’tazilah
ialah Tuhan tidak pernah berbuat buruk atau jahat kepada hamba-hamba-Nya.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh-Nya adalah baik. Tuhan hanya memerinahkan
yang baik dan melarang segala hal yang buruk, maka hal itu disebabkan ketidak
mampuan manusia itu sendirimengetahui hikmah-hikmah ketuhanannya. Dan Allah wajib berbuat baik kepada
hamba-Nya, maksudnya Allah wajib memasukan orang yang baik ke surge dan orang
njahat ke neraka.
3. Al-wa’du wal-Wa’id
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah
wajib memenuhi dan tidak boleh melanggar janji-Nya. Menurut mereka hamba yang
baik pasti mendapatkan pahala dan masuk surga, sebab Tuhan telah berjanji akan
memberikan pahala kepada orang-orang yang berbuat baik. Tuhan tidak akan
mengingkari janji-Nya. Dan berlaku pula dengan sebaliknya.
4. Al-Manzilah baina al-manzilataini
Ajaran inilah yang menjadi factor utama
munculnya kaum Mu’tazilah. Washil bin ‘Atha’ menjelaskan bahwa orang Islam yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula muslim. Dalam ajaran mereka
disebut dengan fasiq.[8][8] Dan orang yang
demikian ini , bila meninggal dunia sebelum bertaubat maka ia akan dimasukkan
didalam neraka untuk selama-lamanya, namun tidak sama dengan neraka yang
ditempati oleh orang kafir. Sehingga siksaannya lebih ringan daripada
siksaannya orang kafir. Yaitu posisi di antara surga dan neraka.
5. Al-‘amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil mungkar
Ajaran amar ma’ruf nahi mungkar
sebenarnya juga dimiliki oleh aliran-aliran lain. Akan tetapi mu’tazilah
memiliki konsep yang khas yang terletak pada metode serta dalam tatanan
pelaksanaanya. Menurut mu’tazilah ajaran ini boleh diterapkan dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan,
sehingga data menimbulkan kekerasan, kekacauan dan kedzaliman. Sejarah pernah
mencatat kaum mu’tazilah pernah membantai ribuan ulama besar dalam “peristiwa
Al-qur’an Makhluk”.
Dan pada tubuh kaum mu’tazilah pun terjadi perpecahan
yang disebabkan karena mereka mempunyai pemikiran yang berbeda-beda sesuai
dengan akal pikirannya. Oleh karena itu tidak ada satupun ajaran-ajaran teologi
yang mereka sepakati. Dan para pakar sejarah hampir semua sepakat bahwa perbuatan manusia semuanya tidak ada
yang dijadikan Tuhan. Sebagian mereka mengatakan bahwa perbuatan manusia
diciptakan oleh dirinya sendiri. Sebagian mengatakan tidak diciptakan melainkan
tercipta dengan sendirinya dll.
Di penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum
Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun
pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan
diri karena tidak sepakat dengan keputusan Ali bin Abi Tholib yang menerima
tahkim dengan pihak Mu’awiyah dalam perang siffin pada tahun 37H/648M. Pada
masa dinasti Ummayah dengan gencar kaum khawarij menentang dan terkadang
melakukan pemberontakan walaupun dapat digagalkan. Kaum khawarij pada saat itu
menjadi satu kekuatan yang sangat membahayakan kekasaan bani Ummayah.
Perkembangan kaum khawarij pada awalnya hanyalah sebuah partai
politik murni menjadi sebuah aliran teologi yang mencampur adukan urusan
politik dengan akidah terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
Pada prinsipnya teologi yang dikembangkan oleh khawarij dikelompokan menjadi
dua, yakni persoalan khilafah dan keimanan. Persoalan politik merupakan doktrin
sentral kaum Khawarij. Kaum khawarij mengatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar
dan Umar adalah pemerintahan yang sah, sebab mereka dipilih dan diangkat sebagi
kholifah berdasarkan kesepakatan umat Islam. Mereka pun mengakui kekhalifahan
Usman bin Affan, namun dianggap menyeleweng dan menyimpang dari norma pada masa
pemerintahannya 6 tahun terakhir. Mereka pun mengakui kekhalifahan Ali,
sebagaimana kekhalifaahan Usman, Ali pun dianggap menyeleweng dengan menerima
tahkim.
Menurut mereka khalifah harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat islam, dan khalifah yang terpilih tidak boleh dijatuhkan dan
dikudeta selama ia mampu berbuat adil dan tidak melakukan hal-hal yang
menyimpang dari ajaran Islam. Pemerintah menurut mereka tidak harus berasal
dari suku Quraish-Arab. Setiap Muslim berhak untuk mencalonkan diri sebagai
kholifah, meskipun ia adalah budak. Dan pandangan seperti inilah yang memicu
kaum khawarij untuk memberontak untuk menggulingkan kekuasaan bani Umayyah.
Untuk masalah keimanan, mereka mempunyai pandangan bahwa keimanan bahwa keimanan bukan hanya
sekedar yakin dan percaya pada Allah dan Rosul-Nya, melainkan harus diwujudkan
dengan amal perbuatan. Iman tidak hanya dalam hati, tapi harus disertai dengan
amal perbuatan. Menurut mereka, amal perbuatan seperti sholat, puasa, zakat,
haji dll merupakan bagian dari keimanan. Maka barang siapa yang tidak
mengerakannya, maka ia adalah kafir, dan wajib dibunuh.[9][9]
Kaum khawarij tidak dapat memelihara kesatuan akidah
mereka. Hal ini disebabkan oleh asal-usul mereka yang berasala dari masyarakat
badui yang memiliki karakter serta pola pikir yang keras, radikal, berani,
serta fanatic dalam mempertahankan pendapat sehingga sangat rentan menimbulkan
perpecahan, baik secara internal maupun eksternal.
Kaum kahwarij adalah kaum yang sungguh-sungguh dan
senantiasa hanyut dalam beribadah. Dan mereka adalah orang yang sangat teguh
menjaga kemurnian akidahnya, mereka rela berperang demi menjaga kemurnian
akidah. Mereka pun dikenal sebagai kaum yang berani dan gigih.
Kebalikan dari kaum khawarij adalah kaum syi’ah, kelompok
yang tetap memihak kepada Ali. Golngan ini mempunyai keyakinan bahwa Ali bin
Abi Tholib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak menjadi khalifah,
karena Nabi Muhammad pernah berwasiat bahwa pengganti beliau setelah wafat
adalah Ali. Kaum syi’ah mengaku mencintai ahlul
bait dan menyatakan terlepas dari Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’
adalah pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam
dari dalam.[10][10] Ia membangun
gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan
politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia menggunakan figure
Ali sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan
propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali. Ia juga
merendahkan kholifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan
perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar seperti Mekah, Madinah,
Basroh dll.
Ia mengajarkan bahwa Ali Berhak menjadi Khalifah karena
mendapatkan wasiat dari nabi Muahammad. Dan untuk selanjutnya imam diangkat
berdasarkan wasiat dari imam sebelumnya. Dan ia pun mengajarkan bahwa Ali bin
Abi Tholib tidak meninggal dibunuh, melainkan diangkat oleh Allah sebagaimana
Nabi Isa, dan Ali bin abi Tholib akan kembali ke dunia untuk menyebarkan agama
baru. dan Abdullah bin Saba’ mendustakan akan kembalinya nabi Isa kelak.
Abdullah bin Saba’ berpendapat bahwa dalam diri Ali terdapat sifat keuluhiyahan
yang bersatu padu dalam tubuhnya, hingga ia menghilangkan sifat kemanusiaan
dalam diri Ali.
Dalam doktrinnya, umat syiah berpendapat bahwa imamah
tidak dapat dilahirkan dari musyawarah seperti khalifah dalam Islam. Imamah
harus berdasarkan keturunan dari nabi Muhammad. Kaum syi’ah pun berpendapat
bahwa mereka mangakui akan adanya imam mahdi dan kebangkitannya menjelang hari
kiamat. Mereka meyakini bahwa imam Mahdi pernah terlahir didunia dari keturunan
nabi Muhammad. Namun ia bersembunyi hingga sekarang dan akan muncul
menjelang hari kiamat. Selain al-Mahdi
mereka berasumsi bahwa semua imam-imam mereka dan orang-orang yang memusuhinya
pasca datangnya al-mahdi akan dibangkitkan kembali dari kematian. Mereka akan
berhadap-hadapan dalam pertempuran. Dan imam mereka akan mebunuh Abu Bakar,
Umar, Usman, Mua’awiyah dan para sahabat Rosul yang lainnya. Dan dalam
pertempuran itu dipimpn langsung oleh Ali bin Abi Tholib.
Umat syiah meyakini bahwa Allah berhak mengubah
kehendaknya sejalan dengan perubahan Ilmunya, serta dapat memerintahkan sesuatu
perbuatan, lalu memerintahkan sebaliknya (Bada’).
Dan mereka juga meyakini taqiyyah,
yakni mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan sendiri untuk
menyelamatkan diri dari orang-orang yang tidak sepaham dalam akidah dan
pemikiran. Tak ubahnya taqiyyah ini
dijadikan tameng oleh kaum syi’ah untuk menyelamatkan diri.
E. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan
Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang
mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah
penterjemahan besar-besaran segala buku Filsafat dari yunani.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia
dan Kristen sebagai juru terjemah kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka
ke dalam bahasa arab, para penerjemah ini berusaha mengembangkan
pendapat-pendapat yang berpautan dengan agama.pengembanganya dalam masyarakat
muslimin, mereka menyembunyikan maksud buruk mereka dengan berpakaian islam.
Mereka menggunakan falsafah untuk kepentingan mereka. Inilah yang
melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dari sejak masuknya kebudayaan asing itu, lahirlah
perbedaan-perbedaan pendapat dalam Ilmu Tauhid. Dimasa itu pulalah timbul
golongan-golongan seperti; Jahamiyah, Karamiyah, Khawarij, dan Mu’tazilah.
Golongan-golongan ini senantiasa berdebat tunduk menundukan dan kafir
mengkafirkan.
Golongan mu’tazilah tidak dapat mempertahankan agama
tanpa mempergunakan falsafah yunani. Dan tanpa mengetahui pendapat-pendapat
golongan yang lain dari mereka untuk menentang golongan-golongan yang tidak
sepaham itu dengan memepergunakan senjata mereka sendiri. Mulai dari masa ini
berwujudlah gerakan mempergunakan falsafah untuk menetapkan akidah-akidah
islamiyah dan ilmu kalam bewarna baru yangt tidak ada di masa Rosul, Shohabat,
dan mulailah ilmu kalam dituang dalam tulisan.[11][11]
Dalam masa ini muncul polimik-polimik menyerang paham
yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid
al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham
Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar,
al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan
bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan
aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah
Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan
kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun,
al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah
bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. golongan Mu’tazilah
memperoleh kedudukan yang baik dalam kalangan bani Abbas, tidak lagi permusuhan
seperti yang mereka peroleh dari bani umayyah.
Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas,
sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan
al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat
gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan
tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil
naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu
al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam
al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik
oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa
asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau
mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang
diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal
orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari
garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan
terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah
cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama
Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah
sukar dan membingungkan.
Dikala pemerintahan khalifah Al Ma’mun terjadi
perdebatan-perdebatan yang memuncak dan hangat diantara ulama-ulama kalam,
karena Al Ma’mun membuka kesempatan yang luas bagi tokoh-tokoh Mu’tazilah.[12][12] Al Ma’mun
mungkin menyukai diskusi-diskusi yang terjadi diantara ulama-ulama kalam atau
memang bermaksud supaya denag jalan-jalan diskusi itu dapat diperoleh suatu
pendapat yang dapat dianut oleh semua orang.
Akan tetapi perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah
berhenti pada saat lahir partai-partai Musyabbihah, yaitu dengan lahirnya
Muhammad Ibnu Karram, pemimpin golongan Karamiyah yang menetapkan adanya sifat
bagi Allah dan menyamakan sifat-sifat Allah itu dengan sifat-sifat makhluk, dan
berkumandang pula pendirian Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al Qur’an. Dalam
peristiwa ini banyaklah orang dibunuh dan disiksa.
Al Ma’mun menganut pendapat Mu’tazilah dan memaksa
masyarakat menganut pendapat itu, karenanya Al Ma’mun menyiksa orang-orang yang
tidak mau menerima pendapat itu.
Tindakan Al Ma’mun membantu Mu’tazilah dengan kekerasan
menyebabkan masyarakat menjauhkan diri dari orang-orang Mu’tazilah. Oleh karena
masyarakat ramai tidak menampung pendapat-pendapat Mu’tazilah, maka pengaruh
mereka kian hari kian lemah. Kemunduran pun terus berjalan sampai khalifah Al Ma’mun wafat
Setelah beliau wafat, dibawah khalifah-khalifah
penggantinya mulai timbul kembali aliran-aliran yang dahulunya tertekan dan tak
berpengaruh. Mu’tazilah tidak mendapatkan perlindungan dan pembelaan lagi,
bahkan mengalami serangan-serangan dan kemunduran.
Dalam keadaan seperti itu, lahirlah Abul Hasan Al
Asy’ari, beliau adalah murid dari Abu Ali Muhammad Ibn Abdul Wahab Al Jubbai Al
Mu’tazilah. Abu Hasan membantah gurunya dan membela mazhab Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah
Abu Hasan menempuh jalan tengah antara mazhab salaf dan
mazhab penetangnya. Beliau mengumpulkan antara dalil-dalil aqli dan dalil-dalil
naqli bagi pendapat-pendapatnya dalam menolak paham Mu’tazilah.
Pengikut-pengikut Asy’ari meneruskan teori-teori yang
telah digariskan oleh Asy’ari yaitu mengumpulkan antara dalil-dalil aqli dan
dalil-dalil naqli. Seketika itu pengikut-pengikut Al Asy’ari memandang pula
bahwa dalil-dalil yang dibuat untuk muqoddimah-muqoddimah aqliyah, seperti
teori jauhar dan arodl, merupakan bagian dari iman. Karenanya mereka
berpendapat bahwa batalnya dalil berarti batalnya mad-lul.
Inilah jalan yang ditempuh mutaqoddimin Asy’ariyah,
seperti Abu Bakar Al Baqillani, Al Isfarayisi, dan Imamul Haramain Al Juwaini.
Kemudian datanglah kelompok pengikut Asy’ari yang
mendalami ilmu mantiqm lalu menetapkan bahwa batalnya dalil belum tentu
batalnya mad-lul, karena mad-lul itu mungkin ditetapkan dengan dalil-dalil yang
lain.
Itulah jaln yang ditempuh ulama mutaakhirin. Diantara
yang menempuh jalan ini ialah Al Ghazali dan Ar Rozi.
F. Perkembangan Ilmu Tauhid sesudah Daulah Abbasyiah dan
masa modern
Sesudah berlalu masa bani abbas datanglah pengikut
asy’ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya kedalam falsafah dan mencampurkan
semuanya itu dengan kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlowi dalam
kitabnya Ath-Thowali dan ‘Abduddin Al-lejy dalam kitab Al mawaqif
Madzhab Al Asy’ari berkembang pesat merata ke pelosok
hingga tak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain dari pada madzhab
hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana
yang tersebut dalam Al Qur’an Al Hadits tanpa menta’wilkan ayat-ayat atau
hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad ke 8 hijrah di Damaskus seorang ulama
besar yaitu Taqiyudin ibnu Taimiyah menentang urusan berlebih-lebihan dari
pihak- pihak yang menyampur baurkan falsafah dengan kalam atau menentang
usaha-usaha yang memasukan prinsip-prinsip falsafah kedalam ‘aqidah islamiyah.[13][13]
Ibnu Taimiyah membela madzhab salaf (shahabat, tabi’in
dan imam-imam mujtahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan-golongan
Al Asy’ari dan lain-lain, baik dari golongan Rafidlah, maupun dari golongan
sufiyah maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan
yaitu pro dan kontra, ada yang menerima pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dengan
sejujur hati, karena itulah ulama-ulama salaf dan ada pula yang mengatakan
bahwa Ibnu Taimiyah itu adalah orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini kemudian
dilanjutkan oleh seorang muridnya yang terkemuka yaitu: Ibnu Qoyyimil Jauziyah.
nah setelah masa ini berlalu, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk
mempelajari Ilmu Kalam dengan seksama dan tinggalah penulis-peniulis yang hanya
memperkatakan ma’na-ma’na lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan
lama. Sesudah itu pembahasan Ilmu Tauhid terhenti.
Hilang gairah kaum muslimin untuk mempelajari dan
mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah ada saja.
Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini
disebut gerakan Salafiyah.
Usaha-usaha beliau-beliau inilah yang telah membangun
kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung kepada
mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya.
Setelah masa Ibnu Taimiyah, muncul pergerakan yang
mengatas namakan gerakan salaifiyah wahaby yang diprakarsai oleh Muhammad bin
Abd Wahhab. Persoalan yang diangkat oleh gerakan ini tidak jauh beda dengan
para pendahulunya, yakni masih seputar kembali pada Al-qur’an dan Sunnah,
pemurnian akidah dengan pemberantasan syirik dan segala bentuk bid’ah dan
khurofat. Kaum wahabi menganggap segala pembantaian dan kekejaman terhadap kaum
muslim yang dilakukan untuk merebut wilayah Hijaz dari kerajaan Turky Usmani
adalah dalam rangka jihad memerangi orang musyrik. Menurut wahabi orang Islam
yang bid’ah, khurofat dsb adalah musyrik. Jadi ia bukan memerangi umat Islam,
melainkan orang musyrik. Dengan demikian segala perampasan yang mereka lakukan
adalah halal, karena merupakan ghonimah atau
harta rampasan perang. Dan mereka pun menghancurkan makam-makam wali serta para
sahabat dengan alasan akan kekhawatiran umat islam menyembahnya.[14][14]
Gerakan syalafiyah modern yang diprakarsai oleh Ibn Aziz
Ibn Abdullah Ibn Baz meneruskan perjuangan al-wahabiyah. Mereka melakukan
taklid mutlak terhadap Ibn Al-Wahab dan Ibn Taimiyah. Tujuannya pun hampir
serupa dengan gerakan Wahabi dan menolak segala bentuk pemikiran kaum barat.
Mereka menyatakan bahwa golongan ahlul sunnah wal jama’ah memisahkan diri dari
Jama’ah Islamiyah.
Adapun gerakan salafiyah ini mengajarkan untuk kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menolak taklid pada ulam-ulama madzhab.
Mereka pun juga menolak peranan akal dalam akidah dan menolak takwil ayat-ayat
Al-qur’an yang musytabihaat. Hal tersebut dilakukan untuk memurnikan tauhid
dari syirik. Mereka beranggapan bahwa kemurnian tauhid telah dirusak oleh
kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah pengaruh tarekat-tarekat. Dalam
masalah syirik Ibn al-Wahhab mengklasifikasikan menjadi syirik akbar dan syirik
asghor. Syirik akbar yaitu bila seorang hamba mengarahkan ibadahnya kepada
selain Allah dan orang yang melakukan syirik ini dianggap keluar dari agama
Islam (kafir). Sedangkan syirik soghir bilamana seseorang melaksanakan
perbuatan yang menjadi perantara menuju syirik akbar. Misalnya terlalu
berllebih-lebihan dalam menyanjung Nabi SAW.
Isu pembaharuan barat atau modernisasi mempengaruhi
pemikiran umat muslim untuk menginstropeksi kemunduran yang telah menimpa
dirinya. Dalam penanggulangannya muncullah pemikiran-pemikiran Islam liberal
yang mengiblatkan pemikirannya kepada barat yang mana kehidupan beragama di
barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran keagamaannya dengan
ilmu pengetahuan dan filsafat modern yang terbukti mampu mngangkat derajat
orang barat.
Islam liberal berpendapat bahwa Al-Qur’an dan As-sunah
harus dipahami melalui pendekatan rasional dan liberal, agar Islam selalu
sesuai dengan perubahan zaman. Pemikiran ini diangkat oleh Sir Sayid Ahmad Khan
yang membujuk kaum mslim agar mau diajak untuk bekerjasama dengan inggris untuk
kemerdekaan India.[15][15]
Adapun gerakan Islam liberal ini mempunyai misi
untuk membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, mengutamakan semangat religio-etik,
mempercayai kebenaran yang relative, memihak pada minoritas yang tertindas,
meyakini kebebasan agama serta memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi
(sekuler).